Legenda Merga Tarigan


Ada cerita lisan (Darwin Prinst, SH. Legenda Merga Tarigan dalam bulletin KAMKA No. 010/Maret 1978 ) yang menyebutkan merga Tarigan ini tadinya berdiam di sebuah Gunung, yang berubah mejadi Danau Toba sekarang. Mereka disebut sebagai bangsa Umang. Pada suatu hari, isteri manusia umang Tarigan ini melahirkan sangat banyak mengeluarkan darah. Darah ini, tiba-tiba menjadi kabut dan kemudian jadilah sebuah danau. Cerita ini menggambarkan terjadinya Danau Toba dan migrasi orang Tarigan dari daerah tersebut ke Purba Tua, Cingkes, dan Tongtong Batu. Tiga orang keturunan merga Tarigan kemudian sampai ke Tongging yang waktu itu diserang oleh burung Sigurda-Gurda berkepala tujuh. Untuk itu Tarigan memasang seorang anak gadis menjadi umpan guna membunuh manok Sigurda-gurda tersebut.

Sementara di bawah gadis itu digali lobang tempat sebagai benteng merga Tarigan. Ketika burung Sigurda-gurda datang dan hendak menerkam anak gadis itu, maka Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menyumpit (eltep) kepala burung garuda itu. Enam kepala kena sumpit, akan tetapi satu kepala tesembunyi di balik dahan kayu. Salah seorang merga Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menusuk kepala itu dengan pisau. Maksud cerita ini mungkin sekali, bahwa pada waktu itu sedang terjadi peperangan, atau penculikan anak-anak gadis di Tongging. Pengulu Tongging merga Ginting Manik lalu minta bantuan kepada merga Tarigan untuk mengalahkan musuhnya tersebut

Beberapa generasi setelah kejadian ini, tiga orang keturunan merga Tarigan ini diberi nama menurut keahliannya masing-masing, yakni ; Tarigan Pertendong (ahli telepati), Pengeltep (ahli menyumpit) dan Pernangkih-nangkih (ahli panjat). Tarigan pengeltep kawin dengan beru Ginting Manik. Diadakanlah pembagian wilayah antara penghulu Tongging dengan Tarigan Pengeltep. Tarigan menyumpitkan eltepnya sampai ke Tongtong Batu. Tarigan lalu pergi kesana, dan itulah sebabnya pendiri kampung (Simantek Kuta) di Sidikalang dan sekitarnya adalah Tarigan (Gersang). Tarigan Pertendong dan Tarigan Pernangkih-nangkih tinggal di Tongging dan keturunannya kemudian mejadi Tarigan Purba, Sibero, dan Cingkes, baik yang di Toba maupun yang di Simalungun. Beberapa generasi kemudian berangkatlah dua orang Merga Tarigan dari Tongtong Batu ke Juhar, yang kemudian di Juhar dikenal sebagai Tarigan Sibayak dan Tarigan Jambor Lateng. Tarigan Sebayak mempunyai nama rurun Batu (laki-laki) dan Pagit (perempuan). Sementara nama rurun Tarigan Jambor Lateng adalah Lumbung (laki-laki) dan Tarik (perempuan). Kemudian datang pulalah Tarigan Rumah Jahe dengan nama rurun Kawas (laki-laki) dan Dombat (wanita).

Tahapan Perkawinan Adat Karo


Dalam pernikahan secara adat Suku Karo dikenal 3 tahapan umum yang dilakukan dalam melaksanakannya. Didalam 3 tahapan umum ini akan dibagi lagi menjadi sub tahapan.
Adapun tahapan pernikahan yang dilakukan secara adat Suku Karo secara umum adalah sebagai berikut:

I. Persiapan Kerja Adat

1. Sitandan Ras Keluarga Pekepar
Tahapan ini adalah tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua belah pihak akan menyampaikan kepada “Anak Beru” masing-masing untuk menentukan hari yang baik untuk menggelar pertemuan di rumah pihak “Kalimbubu” untuk membahas rencana “Mbaba Belo Selambar”

2. Mbaba Belo Selambar
Dalam tahapan Mbaba Belo Selambar ini, tempat berkumpul, yaitu di rumah pihak “Kalimbubu”, dalam hal ini pihak laki-laki akan membawa makanan yang sudah dimasak lengkap dengan lauk yang akan menjadi makanan sebelum dilakukan pembicaraan mencari hari yang baik untuk melaksanakan tahapan “Nganting Manuk”

3. Nganting Manuk
Dalam tahapan ini akan membicarakan tentang utang-utang adat pada pesta perkawinan yang akan segera digelar, sekaligus merencanakan hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan. Namun hari pernikahan tidak boleh lebih 1 bulan sesudah melaksanakan tahapan Ngantig Manuk.


II. Hari Pesta Adat

4. Kerja Adat
Pelakasanaan Kerja Adat biasanya dilakukan selama seharian penuh di kampung pihak perempuan. Tempat pelaksanaan Kerja Adat biasanya dilakukan di Balai Desa atau yang biasa juga disebut dengan istilah “Jambur” atau “Lost”

5. Persadan Tendi
Pelaksanaan Persadan Tendi dilakukan pada saat makan malam sesudah siangnya dilakukan Kerja Adat bagi pengantin pria dan wanita. Dalam pelaksaan Persadan Tendi ini akan disiapkan makanan bagi kedua pengantin yang tujuannya adalah untuk memberi tenaga baru bagi pengantin. Pengantin akan diberi makan dalam satu piring yang sudah siapkan.

III Sesudah Pesta Adat

6. Ngulihi Tudung
Ngulih tudung dilaksanakan setelah 2-4 hari setelah hari Pesta Adat berlalu. Orang tua pihak laki-laki kembali datang kerumah Orang tua pihak perempuan (biasanya pihak orang tua laki-laki membawa makanan dan lauk). Dalam prosesi Ngulihi Tudung dilakukan untuk mengambil kembali pakaian-pakaian adat pihak laki-laki yang mungkin ada tertinggal di Desa pihak perempuan disaat pesta adat digelar.

7. Ertaktak
Pelaksanaan ini dilakukan di rumah pihak kalimbubu (pihak perempuan) pada waktu yang sudah ditentukan, biasanya seminggu setelah kerja adat. Disini dibicarakanlah uang keluar saat pergelaraan pesta adat dilaksanakan. Dibicarakan pula tenang pengeluaran kerja adat yang sudah dibayar terlebih dahulu oleh pihak anak beru, sembuyak dan juga Kalimbubu. Setelah acara Ertaktak dilaksanakan, maka semua pihak baik Kalimbubu, Sembuyak, dan Anak Beru akan makan bersama-sama.

Sepuluh Suku yang Hilang


Sepuluh Suku yang 'Hilang' atau Sepuluh Suku Utara Israel yang 'Hilang' merujuk pada sepuluh Suku Israel yang berasal dari Kerajaan Israel Utara yang tidak diketahui keberadaannya lagi setelah penaklukan oleh Bangsa Asyur (Asiria).


Sekitar tahun 1900 SM, ada seorang Ibrani yang bernama Yakub yang merupakan leluhur Bangsa Israel. Nama Yakub kemudian diganti menjadi Israel. Israel memiliki 12 orang anak, Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Zebulon, Isakhar, Dan, Gad, Asyer, Naftali, Yusuf, dan Benyamin. Keturunan merekalah yang disebut dengan ke-12 Suku Israel. Ke-12 Suku ini disebut sebagai "orang Israel".

Setelah mereka menduduki tanah Kanaan, Suku Lewi tidak mendapatkan daerah warisan karena mereka adalah Suku spesial, yaitu Suku para Imam. Suku Yusuf maka dibagi menjadi dua menurut anak-anak Yusuf, yaitu Manasye dan Efraim (karena Yusuf mendapat berkat ganda dari ayahnya, Israel). Demikianlah tanah Kanaan dibagi menjadi 12 bagian oleh Bangsa Israel.

Kemudian, ke-12 Suku Israel mencapai puncak kejayaannya pada pemerintahan Raja Salomo pada abad kesepuluh SM. Namun setelah kematian Salomo, Kerajaan Israel terpecah menjadi dua, Kerajaan Israel Utara (yang disebut Kerajaan Israel), dan Kerajaan Israel Selatan (yang disebut Kerajaan Yehuda). Kerajaan Israel beribuKota di Samaria dan Kerajaan Yehuda/Yudea beribuKota di Yerusalem. Kata "Yahudi" dipakai untuk menyebut keturunan dari Kerajaan selatan ini, yang akhirnya membentuk Negara Israel moderen, dengan demikian merujuk pada orang Israel moderen.

Sepuluh Suku Utara Israel yang 'Hilang' berasal dari Kerajaan utara, sementara Suku Yehuda dan Benyamin bergabung dengan Kerajaan selatan. Pada abad kedelapan SM Kerajaan utara ditaklukkan oleh Bangsa Asiria dari Kekaisaran Asiria, dan kesepuluh Suku Israel tersebut ditawan dan dipaksa untuk pergi ke Negeri Asiria. Mereka tidak pernah kembali lagi dan tidak ada catatan tentang mereka lagi. Merekalah yang disebut dengan Sepuluh Suku Utara Israel yang ‘Hilang’.

Mengenai Suku Simeon yang tidak banyak disebutkan dan dipercaya telah tercerai-berai sejak kematian Yakub, beberapa sumber menggabungkan Suku ini dengan kesepuluh Suku yang ‘hilang’ dari utara, namun beberapa lainnya menggabungkannya dengan Kerajaan selatan, dan posisinya dalam 'kesepuluh' Suku digantikan oleh 'Manasye barat' dan 'Manasye timur' (Suku Manasye yang besar memiliki dua bagian tanah, satu di tepi barat sungai Yordan, dan satu di sebelah timurnya).

12 Suku Israel

Menurut kitab suci Yahudi dan Kristen, Yakub mempunyai 12 anak laki-laki dan 1 anak perempuan yang tercatat (Dina) dari 2 istri dan 2 gundik, yaitu (dengan urutan kelahiran dalam tanda kurung):

    Lea : Ruben(1) , Simeon(2) , Lewi(3) , Yehuda(4) , Isakhar(9), Zebulon(10), Dina(P)
    Rahel : Yusuf(11) , Benyamin(12)
    Bilha : Dan(5) , Naftali(6)
    Zilpa : Gad(7) , Asyer(8)

Ke-12 anak laki-laki ini menjadi bapak leluhur dari 12 Suku Israel. Ketika Musa, Eleazar, Yosua & para Kepala Suku-suku Israel membagi tanah Israel pada 12 Suku ini, Suku Lewi tidak mendapatkan bagiannya karena Suku ini menjadi Pendeta. Kemudian dalam perkembangannya Suku Yusuf digantikan oleh Suku Efraim dan Manasye (Yang merupakan anak dari Yusuf dari istri Mesir-nya yang bernama Asnat).

Suku Yehuda, Suku Simeon, dan Suku Benyamin bergabung membentuk Kerajaan Yehuda/Yudea, yang dipercaya merupakan cikal bakal dari Bangsa Yahudi yang hidup saat ini. Suku Lewi yang memiliki tugas keagamaan sama sekali tidak memiliki tanah (hanya menguasai area Kuil dan 6 Kota sisa). Sedangkan Suku lainnya (Ruben, Isakhar, Zebulon, Dan, Naftali, Gad, Asyer, Efraim, Manasye Timur, dan Manasye Barat) merupakan bagian dari Kerajaan Israel Utara yang nantinya dinyatakan sebagai Suku 'Hilang'.

Kerajaan Israel Utara

Setelah perang saudara di waktu pemerintahan Rehabeam, putra dari Raja Salomo, 10 Suku melepaskan diri dari Kerajaan utama dan membuat Kerajaan sendiri yaitu Kerajaan Israel Utara. 10 Suku ini terdiri dari 9 Suku (yang memiliki hak tanah) yaitu Suku Zebulon, Isakhar, Asyer, Naftali, Dan, Manasye, Efraim, Ruben dan Gad, dan beberapa anggota dari Suku Lewi yang tidak memiliki hak tanah. Suku Simeon tidak disebut sama sekali dalam Alkitab dan banyak yang percaya bahwa Suku ini telah tercerai berai sejak kematian dari Yakub.

Yudea, Kerajaan Israel Selatan, beribuKota di Yerusalem dan dipimpin oleh Raja Rehabeam. Kerajaan ini memiliki penduduk dari Suku Yehuda dan Benyamin (dan juga oleh beberapa anggota Lewi dan Simeon yang masih tersisa).

Penaklukan Bangsa Asing

Pada tahun 721 SM [Samaria] sebagai ibuKota Kerajaan Israel Utara diserbu oleh pasukan Asyur (Asiria) yang dipimpin oleh Shalmaneser V dan dilanjutkan oleh Sargon II. Dan satu tahun kemudian Samaria takluk dan dihancurkan. Penduduk Kerajaan Israel Utara yang merupakan 10 Suku Israel diasingkan dan dibuang ke Khorason, yang sekarang merupakan bagian dari Iran Timur dan Afganistan Barat. Suku-suku ini dipercaya oleh Bangsa Yahudi saat ini telah hilang dari sejarah.

Perang pun terus berlanjut di Timur Tengah. Bangsa-bangsa kuat saling beradu satu sama lain memperebutkan kawasan Timur Tengah. Pada tahun 603 SM, kekuasaan Bangsa Asyur (Asiria) digantikan oleh Bangsa Babel (Babilonia). Di masa kekuasaan Babel, Kerajaan Israel Selatan Yehuda jatuh, dan Yerusalem dihancurkan (587 SM), dan berlangsunglah masa pembuangan di Babel. 50 tahun kemudian, 538 SM, Kekaisaran Persia merebut kekuasaan Babel. Sebagian Suku Yehuda dan Benyamin diperkenankan untuk kembali ke Yudea. Namun sepuluh Suku Israel lainnya, penduduk Kerajaan Israel Utara, tidak pernah disebutkan kembali sebagaimana dua Suku itu, sehingga mereka dijuluki sebagai Sepuluh Suku Utara Israel yang 'Hilang'.

Tulisan Yosefus Flavius tentang Sepuluh Suku Utara Israel yang 'Hilang'

Dalam Alkitab Perjanjian Lama 2 Raja-raja 18:11 tertulis

“ Raja Asyur mengangkut orang Israel ke dalam pembuangan ke Asyur dan menempatkan mereka di Halah, pada sungai Habor, yakni sungai Negeri Gozan, dan di Kota-Kota orang Madai ”

Tempat-tempat ini sekarang terletak pada bagian utara Irak dan sebelah barat laut Iran yang disebut Kurdistan. Kesepuluh Suku Israel tersebut mulanya diangkut ke sana.

Menurut sejarawan kuno Yosefus Flavius yang hidup pada abad pertama, ia menulis tentang keberadaan kesepuluh Suku tersebut: "... kesepuluh Suku yang berada di Efrat hingga sekarang, dan yang berjumlah sangat besar, yang jumlahnya tidak dapat diperkirakan." (Antiquities 11:2)

Yosefus menulis bahwa pada abad pertama Masehi kesepuluh Suku Israel hidup dalam jumlah yang sangat besar di seberang Sungai Efrat. Hal ini mungkin berarti bahwa beberapa dari mereka tersebar ke sebelah timur sungai Efrat.

Pathans (Pasthun) di Afghanistan & Pakistan

Pathans atau Pasthun menganggap diri mereka sebagai anak-anak Israel, meskipun mereka beragama Islam. Bangsa Pasthun memiliki kemiripan dengan kebiasaan Israel kuno. Bangsa Pasthun kini tinggal di perbatasan Afghanistan-Pakistan. Mereka disebut Afghans atau Pishtus menurut bahasanya. Di Afghanistan, jumlah mereka sekitar enam juta jiwa, dan di Pakistan sekitar tujuh hingga delapan juta jiwa dan dua juta jiwa lagi hidup seperti Suku Badui. Bukti-bukti yang menarik adalah beberapa nama Suku-suku yang sama dengan Suku-suku Israel seperti Suku Harabni yakni Ruben, Suku Shinwari adalah Simeon, Suku Levani - Lewi, Suku Daftani - Naftali, Suku Jaji - Gad, Suku Ashuri - Asyer, Suku Yusuf Su, anak-anak Yusuf, Suku Afridi - Efraim, dan seterusnya. Pathans atau Pasthun mengaku mempunyai hubungan dengan Kerajaan Israel kuno dari Suku Benyamin dan keluarga Saul. Menurut tradisi, Saul mempunyai seorang anak, bernama Yeremia yang memiliki anak bernama Afghana.

Menurut Alkitab 2 Raja-raja, Tawarikh 1 dan 2, sepuluh Suku Israel dibuang ke Halah, Havor, sungai Gozan dan Kota-Kota Maday. Beberapa kemiripan Tradisi Pasthun dengan Israel kuno: memiliki sunat untuk anak laki-laki pada hari kedelapan, Patrilineal (Garis Bapak), menggunakan Talith (Jubah Doa) Tsitsit, pernikahan (Hupah), kebiasaan wanita (pembasuhan di sungai), pernikahan dari pihak keluarga ibu atau bapak (Yibum), Sangat menghormati bapak, larangan memakan daging kuda dan unta, Shabbat dengan menyiapkan 12 roti Hallah, menghidupkan lilin pada saat Shabbat, hari Yom Kippur, menyembuhkan penyakit dengan bantuan kitab Mazmur (menempatkan kitab Mazmur dibawah kepada pasien, nama-nama Ibrani di desa-desa dan menyebut nama Musa, dan menggunakan simbol bintang Daud. Mereka hidup sebagai Suku-suku yang terpencar dan memiliki hukum tradisi yakni Pashtunwali atau hukum Pasthun yang mirip dengan hukum Taurat. Pasthun bertradisi pernikahan ipar, yang mengharuskan saudara laki-laki menikahi janda saudaranya yang meninggal tanpa keturunan, sama seperti Israel kuno (Ul, 25:5-6). Pasthun juga bertradisi mengorbankan kambing-domba penebusan, sama seperti masa Israel kuno yang membebankan dosa seluruh Bangsa pada domba yang diusir ke gurun dan disembelih (Im, 16).

Kashmir di India bagian utara

Di India bagian utara yakni Kashmir terdapat sekitar 5-7 juta jiwa. Terdapat nama Ibrani di lembah dan di desa-desa di Kashmir seperti Har Nevo, Beit Peor, Pisga, Heshubon. Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa Bangsa Kashmir keturunan Sepuluh Suku Utara Israel yang 'Hilang' pada pembuangan tahun 722 SM. Penampilan fisik mereka berbeda dengan umumnya orang India. Tradisi mereka memang mengindikasikan perbedaan asal-usul. Orang Kashmir memiliki hari raya Paskah pada musim semi, saat dilakukan penyesuaian perbedaan penanggalan candra dan surya, dengan cara seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi. Mereka memang menyebut diri sebagai Bene Israel, Anak-anak Israel. Orang Kashmiri menghormati Sabbath (beristirahat dari semua jenis kerja); menyunat bayi pada usia delapan bulan; tidak makan ikan yang tak bersisik dan bersirip, dan merayakan beberapa hari raya Yahudi lainnya, tetapi tidak yang berasal dari setelah kehancuran Bait Allah pertama (seperti Hannukah).

Shin-lung (Bnei Manasye) di sekitar perbatasan India-Myanmar

Di kawasan pegunungan di kedua sisi perbatasan India-Myanmar, bermukim sekitar 2 juta orang Shin-lung. Mereka memiliki tradisi penyembelihan binatang korban seperti Suku-suku Israel kuno pada umumnya, dan menyebut diri anak Manasye atau Bnei Manasye. Kata Manasye banyak bermunculan dalam puisi dan doa (mereka menyeru “Oh God of Manasseh”). Mereka memiliki tradisi cerita yang mengatakan bahwa mereka dibuang ke suatu tempat yang berada di sebelah barat tempat asal mereka, lalu bermigrasi ke timur dan mulai menjadi penggembala dan penyembah dewa. Migrasi mereka berlanjut ke timur, mencapai perbatasan Tibet-China, lalu mengikuti aliran Sungai Wei, hingga masuk dan bermukim di China Tengah sekitar tahun 230 SM. Orang China menjadikan mereka sebagai budak, sehingga beberapa di antara mereka melarikan diri dan tinggal di gua-gua kawasan pegunungan Shin-lung, dan hidup miskin selama dua generasi. Mereka juga disebut orang gua atau orang gunung dan tetap menyimpan kitab suci mereka. Akhirnya mereka mulai berasimilasi dengan orang China dan terpengaruh budaya China, hingga akhirnya mereka meninggalkan gua-gua pegunungan dan pergi ke barat, melalui Thailand, menuju Myanmar. Setelah itu mereka berkelana tanpa kitab suci, dan membangun tradisi lisan, hingga sampai di Sungai Mandaley, dan menuju Pegunungan Chin. Pada abad-18 sebagian dari mereka bermigrasi ke Manipur dan Mizoram, India Timur Laut.

Mereka sadar bahwa mereka bukan orang China meskipun menggunakan bahasa China dialek lokal, dan menyebut diri Lusi yang berarti Sepuluh Suku (”Lu” berarti Suku, dan “si” berarti sepuluh). Tradisi Manasye antara lain adalah sunat (kini sudah ditinggalkan), upacara pemberkatan anak pada usia 8 hari, hari raya keagamaan yang mirip dengan hari raya keagamaan Yahudi, praktik pernikahan ipar demi kelangsungan nama marga, menyebut nama Tuhan sebagai “Yahwe”, dan memelihara puisi yang mirip dengan kisah penyeberangan Kitab Keluaran ketika Bangsa Israel menyeberang Laut Merah. Di setiap kampung ada Pendeta atau Imam yang selalu bernama Harun (Aaron, saudara Musa dan Imam Pertama Yahudi) dengan pewarisan turun-temurun. Salah satu tugas mereka adalah mengawasi kampung, berdoa dan mempersembahkan korban, dengan jubah ber-‘breastplate’, ikat pinggang dan mahkota, dan selalu membuka doa dengan menyebut nama Manasye. Dalam kasus terdapat orang jatuh sakit, para Imam dipanggil untuk memberkati pesakit dan mempersembahkan korban. Imam akan menyembelih domba atau kambing dan mengoleskan darahnya di telinga, punggung dan kaki pesakit sambil mengucapkan mantra yang mirip dengan Im, 14:14. Pada kasus penyakit khusus, diselenggarakan upacara khusus. Semacam upacara penebusan yang dilakukan dengan memotong sayap burung dan menebar bulunya ke udara. Pada kasus penyakit lepra, para Imam menyembelih burung di lapangan terbuka. Untuk penebusan dosa, dilakukan pengorbanan domba di altar seperti dilakukan di Bait Allah (seperti disaksikan seorang penulis di hutan Myanmar sekitar tahun 1963-1964). Darah sembelihan ditorehkan di ujung altar, dagingnya dimakan. Yom Kippur dirayakan sebagai hari penebusan, sekali setahun seperti tradisi Yahudi. Kendaraan Imam tidak boleh dibuat dari logam, namun dari tanah liat, kain, atau kayu. Melakukan praktik pemujaan berhala dan mempercayai klenik sehubungan dengan roh dan setan. Percaya reinkarnasi tapi percaya Tuhan di sorga akan membantu dalam kesusahan.

[sunting] Qiang (Ch’iang-min) di China bagian barat

Orang-orang Qiang atau Ch’iang-min (sekitar 250 ribu orang, 1920) bermukim di Propinsi Sechuan, China bagian barat, di daerah pegunungan sebelah barat Sungai Min, dekat perbatasan Tibet [Thomas Torrance “The History, Customs and Religion of the Ch’iang People of West China” (1920) dan “China’s First Missionaries: Ancient Israelites” (1937)]. Mereka menganggap diri sebagai imigran dari barat yang datang ke tempat tersebut setelah berjalan selama tiga tahun tiga bulan. Orang China menganggap mereka sebagai barbar, dan mereka menilai orang China sebagai penyembah berhala (Ch’iang-min percaya hanya pada satu Tuhan dan menyebutnya ‘Yawei’ ketika berada dalam kesulitan). Ch’iang-min mempraktikkan persembahan korban yang dilakukan Imam, jabatan yang hanya bisa dijabat oleh pria yang sudah menikah (Im, 21:7,13) dan diwariskan turun-temurun. Para Imam mengenakan jubah putih bersih dan bersurban khusus. Mezbah dibuat dari batu yang tidak dipotong dengan alat logam (Kel, 20:25), dan tidak boleh didekati oleh orang asing dan “cacat” (Im, 21:17-23). Para Imam Ch’iang-min menggunakan tali pengikat jubah, dan sebatang tongkat berbentuk seperti ular (kisah Musa di gurun). Setelah berdoa, para Imam membakar bagian dalam dan daging korban sembelihan, dan mengambil bagian pundak, dada, kaki dan kulit, sementara dagingnya dibagikan kepada pemberi persembahan. Saat persembahan, mereka mengibarkan 12 bendera di sekitar altar untuk menjaga tradisi bahwa mereka berasal dari satu bapak yang memiliki 12 anak. (Mereka bertradisi sebagai keturunan Abraham dan berleluhur seorang bapak dengan 12 anak). Di antara orang Ch’iang-min, terdapat tradisi mengoleskan darah pada ambang pintu demi keselamatan dan keamanan rumah, pernikahan ipar, tudung kepala bagi wanita, memberi nama anak pada usia 7 hari hingga menjelang malam ke-40.

Kelompok Suku/Bangsa lainnya yang 'terindikasi' keturunan dari 10 Suku Utara Israel yang 'Hilang'

    Samaria di Israel & Palestina
    Badui-Bedul di Israel, Palestina & Yordania
    Kurdi di Suriah, Irak, Iran & Turki
    Parthia di Iran
    Bukharia di Negara-Negara Asia Tengah & Kazakstan
    Pathan-Afridi di India & Pakistan
    Bene Israel di India & Pakistan
    Bene Efraim di India
    Nasranis Kerala (Malabar) di India bagian selatan
    Tibet
    Kaifeng di China
    China-Taiwan di Taiwan
    Korea di Korea Utara & Korea Selatan
    Jepang
    Suku-suku di Filipina
    Nias di Sumatra bagian utara, Indonesia
    Batak-Toba di Sumatra bagian utara, Indonesia
    Mentawai di Sumatra bagian barat, Indonesia
    Minangkabau di Sumatra bagian barat, Indonesia
    Enggano di Sumatra bagian selatan, Indonesia
    Dayak di Kalimantan (Indonesia, Malaysia & Brunei)
    Talaud di Sulawesi bagian utara, Indonesia
    Sanghie di Sulawesi bagian utara, Indonesia
    Minahasa di Sulawesi bagian utara, Indonesia
    Mandar di Kalimantan bagian selatan & Sulawesi bagian selatan, Indonesia
    Toraja di Sulawesi bagian selatan, Indonesia
    Sumba, Sabu, Ndao, Rote, Manggarai, Riung, Ngada, Nagekeo, Lio, Ende, Sikka, Larantuka, Adonara, Solor, Lembata, Pantar, Pura, Alor, Timor-Helong, Timor-Dawan & Timor-Belu di Flobamora, Indonesia & Timor Leste
    Suku-suku di Maluku bagian utara, Indonesia
    Alef'uru dan Suku-suku lainnya di Maluku bagian selatan, Indonesia
    Beberapa Suku Melanesia di Papua, Indonesia & Papua Nugini
    Eskimo di Kanada & Alaska, Amerika Serikat
    Indian-Amerika di Kanada & Amerika Serikat
    Polynesia-Hawaii di Hawaii, Amerika Serikat
    Beberapa Suku di Kamerun
    Bilad el-Sudan di Mali & Ghana
    Annang di Nigeria
    Efik di Nigeria
    Ibibio di Nigeria
    Ibo (Igbo) di Nigeria
    Sefwi (Rumah Israel) di Ghana
    Bani Israel di Senegal
    Anglo-Saxon (Anglo-Israelism) yang membentuk Kerajaan Persemakmuran Inggris Raya & Amerika Serikat
    Irlandia
    Belanda
    Luksemburg
    Gaul di Prancis bagian utara
    Jerman (Franka)
    Denmark (Danes)
    Swedia (Sami)
    Finlandia (Finn)
    Viking di Norwegia & Eslandia
    Yunani
    Polynesia-Maori di Selandia Baru
    Mikronesia-Kiribati di Kiribati

Kelompok Suku/Bangsa lainnya yang 'terindikasi' keturunan dari Beberapa 2 Suku Selatan Yehuda yang 'Hilang'

    Arab-Yahudi di Negara-Negara Liga Arab & Negara-Negara OKI
    Persia-Yahudi di Iran
    Beberapa Suku di Afghanistan
    Beberapa Suku di Kirgistan
    Kuba-Yahudi di Kuba
    Jamaika-Yahudi di Jamaika
    Puerto Riko-Yahudi di Puerto Riko
    Barbados-Yahudi di Barbados
    Suriname-Yahudi di Suriname
    Indian-Inka-Yahudi (Bnei Moshe) di Peru
    Amazon-Yahudi di Negara-Negara Amerika Selatan
    Berber-Yahudi di Negara-Negara Afrika Utara
    Beberapa Suku di Sudan
    Serai di Eritrea
    Meroni di Eritrea
    Dembia di Ethiopia
    Falash Mura (Beit Avraham) di Ethiopia
    Falasha (Beta Israel) di Ethiopia & Kenya
    Beberapa Suku di Laikipia, Kenya
    Abayudaya di Uganda
    Bakwa Dishi di Zaire & Kongo
    Beberapa Suku di Sao Tome & Principe
    Beberapa Suku di Mali
    Beberapa Suku di Pantai Gading
    Beberapa Suku di Guinea
    Beberapa Suku di Tanjung Verde
    Lemba di Zimbabwe & Afrika Selatan
    Latin-Yahudi (Bnei Anousim) di Spanyol, Portugal, Italia, Vatikan, San Marino, Andorra, Monako, Prancis, Rumania, Filipina, Timor Leste, Negara-Negara Amerika Latin, Amerika Serikat & Australia
    San Nicandro di Italia
    Polandia-Yahudi di Polandia
    Subbotniks di Rusia

Sejarah dan Makna Filosofi Seni Tari Karo



Bagi masyarakat Karo, dikenal istilah uga gendangna bage endekna, yang artinya bagaimana musiknya, harus demikian juga gerakannya (endek). Endek diartikan disini tidak sebagai gerakan menyeluruh dari anggota badan sebagai sebagaim...ana tarian pada umumnya, tetapi lebih ditekankan kepada gerakan kaki saja. Oleh sebab itu endek tidak dapat disamakan sebagai tari, meskipun unsur tarian itu ada disana. Hal ini disebabkan konsep budaya itu sendiri yang memberi makna yang tidak dapat diterjemahkan langsung kata per kata. Karena konsep tari itu sendiri mempunyai perbedaan konsep seperti konsep tari yang dalam berbagai kebudayaan lainnya. Konsep endek harus dilihat dari kebudayaan karo itu sendiri sebagai pemilik kosa kata tersebut.

 Konsep-konsep seperti ini juga dapat kita lihat pada istilah musik bagi masyarakat Karo. Pada masyarakat Karo tidak dikenal istilah musik, dan tidak ada kosa kata musik, tetapi dalam tradisi musik kita mengenal istilah gendang yang terkait dengan berbagai hal dalam ‘musik’ atau bahkan dapat diterjemahkan juga sebagai musik. Bagi masyarakat Karo gendang bermakna jamak, setidaknya gendang mempunyai lima makna,


(1) gendang sebagai ensambel musik, misalnya gendang lima sedalanen, gendang telu sedalanen dan sebagainya;


(2) gendang sebagai repertoar atau kumpulan beberapa buah komposisi tradisional, misalnya gendang perang-perang, gendang guru dan sebagainya;


(3) gendang sebagai nama lagu atau judul lagu secara tradisional, misalnya gendang simalungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam (yang juga terkadang sebagai cak-cak atau style) dan sebagainya;


(4) gendang sebagai instrument musik, misalnya gendang indung, gendang anak; dan


(5) gendang sebagai upacara, misalnya gendang guro-guro aron, dan sebagainya. Konsep seperti ini juga berlaku bagi tarian.

Endek dapat diartikan sebagai gerakan dasar, yaitu gerakan kaki yang sesuai dengan musik pengiring (accompaniment) atau musik yang dikonsepkan pada diri sipenari sendiri, karena ada kalanya juga gerakan-gerakan tertentu dapat dikategorikan sebagai tarian, namun tidak mempunyai musik pengiring. Kegiatan menari itu sendiri disebut dengan landek, namun untuk nama tari jarang sekali dipakai kata landek, jarang sekali kita pernah mendengar untuk menyebutkan landek roti manis untuk tari roti manis atau tarian lainnya. Malah lebih sering kita dengar dengan menggunakan istilah yang diadaptasi dari bahasa Indonesia yaitu ‘tari’, contohnya tidak menyebut Landek Lima Serangke, tapi Tari Lima Serangke. Landek langsung terkait dengan kagiatan, bukan sebagai nama sebuah tarian.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam tari karo, yaitu endek (gerakan naik turun kaki), jole atau jemole, yaitu goyangan badan, dan tan lempir, yaitu tangan yang gemulai, lembut. Namun disamping itu bagaimana ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam gerakan-gerakan tari, terkait dengan musik pengiring itu sendiri dan dalam konteks tarian itu sendiri, misalnya dalam tarian adat, muda-mudi, khusus, dan sebagainya.

Gerakan dasar tarian Karo dibagi atas beberapa style yang dalam bahasa Karo disebut dengan cak-cak. Ada beberapa cak-cak yang dikenal pada musik Karo, yang terkait dengan gaya dan tempo sekaligus, yaitu yang dimulai dari cak-cak yang sangat lambat sampai kepada cak-cak yang relative cepat, yaitu antara lain yang lazim dikenal adalah:
  • cak-cak simalungen rayat, dengan tempo lebih kurang 60 – 66 jika kita konversi dalam skala Metronome Maelzel. Apabila kita buat hitungan berdasarkan ketukan dasar (beat), maka cak-cak ini dapat kita kategorikan sebagai cak-cak bermeter delapan. Artinya pukulan gung dan penganak (small gong) sebagai pembawa ketukan dasar diulang-ulang dalam hitungan delapan;
  • cak-cak mari-mari, yang merupakan cak-cak yang lebih cepat dari cak-cak simalungen rayat. Temponya lebih kurang 70 hingga 80 per menit;
  • cak-cak odak-odak, yang merupakan cak-cak yang temponya lebih kurang 90 – 98 per menit dalam skala Maelzel.
  • cak-cak patam-patam, merupakan cak-cak kelipatan bunyi ketukan dasar dari cak-cak odak-odak, dan temponya biasanya lebih dipercepat sedikit antara 98 sampai 105. Endek kaki dalam cak-cak ini merupakan kelipatan endek dari cak-cak odak-odak.
  • cak-cak gendang seluk, yaitu cak-cak yang sifatnya progressif, semakin lama semakin cepat, yang biasanya dimulai dari cak-cak patam-patam. Jika dikonversi dalam skala metronome Maelzel, kecepatannya bias mencapai 160-an, dan cak-cak silengguri, biasanya cak-cak ini paling cepat, karena cak-cak ini dipakai untuk mengiringi orang yang intrance atau seluk (kesurupan).



Sejarah dan Makna Filosofi

Berbicara tentang sejarah seni tari Karo, maka kita akan dihadapkan pada kajian folklore, karena tidak ada tanggal-tanggal yang pasti diketahui kapan munculnya tarian Karo. Tetapi pada umumnya tari yang unsur dasarnya adalah gerak dapat kita temui dalam ritus-ritus dan upacara-upacara tradisional yang ada pada masyarakat Karo. Dengan demikian makna dari setiap gerakan-gerakan mempunyai makna dan filosofi tergantung jenis tarinya. Meskipun demikian ada beberapa hal yang terkait dengan tari karo, misalnya gerakan tangan yang lempir, pandangan mata, endek nahe, b ukan buta-buta. Disamping itu juga makna gerakan-gerakan tangan juga mempunyai makna tersendiri.

Ada beberapa makna dari gerakan tari Karo berupa perlambangan, yaitu:

  • gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah melambangkan tengah rukur, yaitu maknanya selalu menimbang segala sesuatunya dalam bertindak
  • Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, yang artinya saling tolong menolong dan saling membantu;
  • gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pe la banci ndeher adi langa si oraten, yang artinya siapa pun tidak boleh dekat kalau belum mengetahui hubungan kekerabatan, ataupun tidak kenal maka tidak saying;
  • gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yang artinya mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat; gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe labanci ndeher, artinya siapapun tidak bias mendekat dan berbuat sembarangan;
  • gerakan tangan sampai kepala dan membentuk seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya menimbang sebelum memutuskan, piker dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna;
  • gerak tangan kanan dan kiri sampai bahu, melambangkan baban simberat ras menahang ras ibaba, yang bermakna ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Artinya mampu berbuat mampu bertanggung jawab dan serasa sepenanggunan gerakan tangan dipinggang melambangkan penuh tanggung jawab;
  • dan gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise per eh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, artinya siapapun yang dating jika sudah berkenalan dan mengetahui hubungan kekerabatan diterima dengan baik sebagai keluarga (kade-kade).


Jenis-jenis Tarian Karo

Tari Komunal

Yang termasuk dalam tarian ini pada masyarakat Karo terdapat beberapa macam yang terkait dengan upacara-upacara adapt misalnya dalam upacara-upacara adat dan peranan-peranan social dalam adapt itu sendiri yang terbagi dalam kelompok-kelompok social tertentu yang sesuai dengan filosofi adapt Karo ‘merga si lima, tutur si waluh, rakut si telu’ Secara kelompok social dapat dibagi menjadi: landek kalimbubu (masih dapat dikelompokkan lebih spesifik lagi); landek sukut (senina, sembuyak, siparibanen, sepengalon, siparibanen, sigameten); landek anak beru dan sebagainya. Juga dalam jenis tari komunal ini masih terdapat bebrapa jenis tarian, misalnya dalam acara guro-guro (acara muda-mudi). Dalam acara ini juga terdapat kelompok-kelompok tarian komunal yang dibagi berdasarkan merga atau beru, tergantung daerahnya. Namun biasanya didahului oleh merga simantek kuta atau orang yang pertama sekali menempati wilayah tertentu dimana upacara tersebut berlangsung, atau biasa juga disebut dengan kalimbubu taneh. Adapun jenis-jenis tarian untuk kategori ini adalah dapat kita temukan dalam upacara-upacara:

  • kerja erdemu bayu (perkawinan)
  • merdang merdem atau kerja tahun (upacara pertanian)
  • nurun-nurun (upacara kematian)
  • guro-guro aron (muda-mudi)
  • ersimbu (upacara memanggil hujan), atau biasa juga disebut dengan dogal-dogal
  • mengket rumah mbaru (meresmikan rumah baru)
  • ngukal tulan-tulan (menggali tulang)
  • ngalo-ngalo, dll.

Tari Khusus

Jenis-jenis tarian ini terkait dengan hal-hal yang sifatnya khusus dan bukan bersifat umum, yaitu yang berhubungan dengan dengan peranan seseorang, misalnya:

  • gendang guru (dukun)
  • seluk (trance)
  • perumah begu (memanggil roh)
  • erpangir ku lau (keramas, bathing ceremony)
  • perodak-odak
  • tari tungkat
  • tari baka


Tari Tontonan

  • Perkolong-kolong (permangga-mangga)
  • Mayan atau Ndikkar (seni bela diri khas Karo)
  • Tari Kuda-Kuda (Simalungun: Hoda-Hoda)
  • Gundala-gundala (Tembut-tembut Seberaya)

Tari Kreasi Baru

  • tari roti manis
  • tari terang bulan
  • tari lima serangke
  • tari telu serangke,
  • tari uis gara, dll.

Fungsi Tarian Karo

  • penghayatan estetis
  • pengungkapan emosional
  • hiburan
  • komunikasi
  • fungsi perlambangan
  • reaksi jasmani
  • berkaitan dengan norma-norma social
  • pengesahan lembaga social atau status social tertentu
  • keseinambungan kebudayaan
  • pengintegrasian masyarakat
  • pendidikan.


PENGOBATAN UNTUK PEMBUKAAN PEMBULUH DARAH JANTUNG


Bahan dan cara pembuatannya

1. Jus LEMON 1 cup

2. Jus JAHE 1 cup

3. Jus Bawang Putih 1 cup

4. Cuka Apel 1 cup



Campurlah keempat bahan ini dan didihkan dengan api yang sedang sekitar 1/2 jam. Bila 4 cup sudah jadi 3 cup, angkat dari perapian dan dinginkan. Setelah dingin, campurlah dengan 3 cup madu asli dan aduklah hingga menyatu. Simpan dalam botol.

Setiap pagi sebelum sarapan, minum 1 sendok makan secara teratur. Pembuluh darah jantung anda yang menyempit akan membuka. (Formula ini skrg ramai dikonsumsi oleh teman2 saya alumni FTUI). Handicapnya adalah lemon hanya bisa dibeli di supermarket besar (buah impor) dgn harga sekitar Rp.30.000/kg.(Andai di Tanah Karo Simalem buah ini bisa dibudidayakan, tentu harganya lebih murah).


Selanjutnya, dari pengalaman seorang teman saya alumni FTUSU, obat herbal Cina yg bernama ANGONG NIUHUANG WAN (bisa dicari info lengkapnya di internet), biasa juga disebut Angkung (dapat dibeli di Toko Obat Cina @kira2 Rp.350.000), ternyata membatalkan rencana operasi by-pass yg harus dijalani tetangganya setelah tetangga itu mengikuti sarannya untuk mencoba meminum 3 butir obat ini seblm operasi bypass dilakukan. Pengecekan kembali seblm operasi tidak lagi mendeteksi adanya penyempitan pembuluh darah jantungnya.

Saya pribadi pernah mencoba memakai Angkung ini 2 butir walau tanpa keluhan penyempitan pembuluh darah jantung. (Dosis terbanyak dlm satu kurun waktu yg cukup panjang adalah 3 butir, sehari 1 butir). Efek yg saya rasakan adalah lancarnya BAK yg sebelumnya memang mengalami gangguan krn frekwensi yg cukup tinggi dan sedikitnya volume yg keluar setiap kalinya, mungkin krn penyempitan juga. Padahal seblm memakai obat ini, saya tak pernah berpikir bhw keluhan BAK itu bisa diatasi dgn mudah.


Demikianlah yang dapat saya sampaikan. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua

Nama Kegunaan Pakaian Adat Karo


Ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam pakaian adat karo yang kita kenal, seperti:


  • Uis nipes : Untuk tudung, “maneh-maneh” (kado untuk perempuan), untuk mengganti pakaian orang tua (pihak perempuan) dan sebagai alas “pinggan pasu” (piring) pada saat memberikan mas kawin dalam upacara adat.
  • Uis julu : Untuk sarung, “maneh-maneh”, untuk mengganti pakaian orang tua (untuk laki-laki) dan selimut.
  •  Gatip gewang : Untuk menggendong bayi perempuan dan “abit” (sarung) laki-laki
  • Gatip jongkit : Untuk “gonje” (sarung) upacara adat bagi laki-laki dan selimut bagi “kalimbubu” (paman).
  • Gatip cukcak : Kegunaannya sama dengan gatip gewang, bedanya adalah gatip cukcak ini tidak pakai benang emas.
  • Uis pementing : Untuk ikat pinggang bagi laki-laki
  • Batu jala : Untuk tudung bagi anak gadis pada pesta “guro-guro aron”. Boleh juga dipakai laki-laki, tapi harus 3 lapis, yaitu: uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam.
  • Uis arinteneng : Sebagai alas waktu menjalankan mas kawin dan alas piring tempat makan pada waktu “mukul” (acara makan pada saat memasuki pelaminan), untuk memanggil roh, untuk “lanam” (alas menjunjung kayu api waktu memasuki rumah baru), untuk “upah tendi” (upah roh), diberikan sebagai penggendong bayi dan alas bibit padi
  • Uis kelam-kelam : Untuk tudung orang tua, untuk “morah-morah” (kado untuk laki-laki), dan boleh juga dipakai oleh laki-laki dalam upacara adat, tapi disertai batu jala dan rambu-rambu.
  • Uis cobar dibata : Untuk upacara kepercayaan, seperti “uis jinujung”, “berlangir” dan “ngelandekken galuh”.
  • Uis beka buluh : Untuk “bulang-bulang” diikatkan di kepala laki-laki pada upacara adat.
  • Uis gara : Untuk penggendong anak-anak, tudung untuk orang tua dan anak gadis.
  • Uis jujung-jujungen : Untuk melapisi bagian atas tudung bagi kaum wanita yang mengenakan tudung dalam upacara adat.

FUNGSI RUMAH ADAT DAN SANGKEP SI TELU DALAM PERGAULAN HIDUP MASYARAKAT /SUKU KARO


Apabila orang meninjau Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta pada lokasi Sumatera  Utara terlihat sebuah model rumah yang tinggi menjulang . Rumah adat ini adalah rumah adat suku Karo, satu suku diantara banyak suku yang mendiami daerah Sumatera Utara.Rumah adat ini didiami 8 kepala keluarga ( rumah tangga ) . Tinggi rumah  kurang lebih 30  meter.beratap ijuk, di bagian bubungan ada rumah bermuka 2 ada bermuka 4, dan pada tiap mukanya di bagian teratas di pasang  tanduk kerbau. Rumah tersebut panjangnya kurang lebih 16 meter , lebar 10 meter, dimana panjang belahan kayu  besar  dengan tiang- tiang yang berukuran 60 cm, dinding bagian bawah agak miring kurang lebih 30 derajat, di sertai ukiran- ukiran di bagian dinding dan lain sebagainya yang agak rumit. Satu hal cukup mempesona  ialah rumah besar semacam itu  sama sekali  tidak  menggunakan paku, tapi hanya  menggunakan potongan- potongan kayu keras, pohon enau dan tali ijuk, rotan atau bambu. Mengingat kayu- kayu yang digunakan cukup panjang dan besar,maka dengan sendirinya bahan baku ini diambil dari hutan belantara. Kayu besar ini jarang sekali yang dipotong, sehingga untuk menariknya  dari hutan haruslah penduduk menariknya dengan beramai ramai dengan semangat yang tinggi  ber  Aaah ..AhAhhh.... OleeeNang....Oleoleeeenang ,  Ah  Oh , tariiiik.... Sleeep sleeep  miser sitik stik ia, bagem me kerina  erurak, rasa ras ibanna me kayu bulat iteruh  kayu sinitarikna e , emakan miser me sitik sitik,hal demikian  ber hari hari  sampailah ke tapak  yang akan di dirikan Rumah Adat tersebut. Ijeme  ncidakken kehebatenna sibiak perbaban e kerinana meriah me tuhu akapna, piah la igejab  dungkang dahin. Lamanya  menarik pohon  kayu tersebut tergantung jauh dekatnya kampung dengan hutan belantara. Pada kenyataannya hutan belantara dengan kampung dimana berdiri rumah adat ada berjarak sampai 5 km, pada hal jalan kearah kampung itu tidak selamanya rata , tapi berbukit- bukit. Tetangga Karo ini seperti Pakpak, Simalungun dan Toba, juga memiliki rumah adat tapi mengenai besar dan tingginya ternyata rumah adat Karo jauh melebihi dari rumah adat suku tetangga tadi. Timbul petanyaan , Kapankah rumah adat Karo yang berusia  100 tahun  itu mula - mula didirikan orang ?  Ternyata belum ada jawaban positif yang dapat diterangkan. Khabarnya hanyalah dikampung si anu telah dibangun kembali rumah adat diatas rumah adat lama yang sudah runtuh,  Mengingat  usia  rumah adat ini tidak kurang dari 100 tahun, dapat diancar-ancar rumah adat yang mula- mula didirikan tentu sudah mencapai angka ratusan tahun. Sedemikan besarnya rumah adat Karo itu,  sehingga jangka waktu pembangunannya memakan waktu bertahun- tahun. Malah sempat ijuk ( atap rumah ) lumut- lumuten baru pembangunannya selesai siap untuk ditempati.Mengenai fungsi rumah adat ini, sebenarnya cukup luas, sebab meliputi peraturan hidup dan cara- cara bergaul dan hidup di tengah- tengah masyarakat terkecil sampai kepada yang lebih besar. Jangan dikira  dalam runah adat itu bisa  sembarangan kepala keluarga ( rumah tangga ) dapat mendiaminya. Setiap kepala keluarga ( rumah tangga ) yang menempati masing- masing rumah tangga dari 8 rumah adat tersebut semuanya berfungsi menurut ketentuan- ketentuan adat istiadat. Masing- masing kepala keluarga dalam rumah adat itu memiliki 8 fungsi  sendiri- sendiri  dalam rangkain  dari seluruh penghuni rumah, petugas/ penghubung  pemberi kabar penjaga ketenteraman, juru bicara, pemberi advise dan lain lain. Maka  sekiranya dalam rumah tangga tersebut terjadi sesuatu kecurangan ataupun pertengkaran dalam taraf pertama persolan dapat diselesaikan oleh anggota- anggota keluarga rumah  sendiri yang tergabung dalam sangkep si telu ( anak beru, sukut dan kalimbubu ). Dalam kasus tersebut perlu kita  ketahui bersama   yaitu ada pihak yang membuka persoalan  ( anak beru ) dan ada pihak  yang merasa tertuduh dapat pula membela diri, baik oleh dia maupun dengan anak berunya . Pada hakekatnya  dalam  masing- masing rumah adat  cara bekerja masing- masing kepala keluarga ( rumah adat ) telah tertentu  dalam pola  tertentu, terutama dalam bidang soal kemasyarakatan, baik dalam hal menghadapi perkawinan , kemalangan dan lain- lain, sehingga  pengaturan kegiatan- kegiatan sosial, terpancar  ke gotomg- royongan yang dinamis.Salah satu aspek positif dari kegotong- royongan masyarakat tadi, ialah serasa  senasib sepenanggungan , sehingga  bilamana  ada keluarga  keluarga kekurangan  beras, pihak lain tidak segan- segan memberikan bantuan, tanpa  menghitung hitung rentenya.  Demikan pula pada keperluan- keperluan lainnya , apa bila satu pihak merasakan beban yang sukar di kerjakan sendiri maka pihak lain tidaklah melihat saja, tapi ikut merasa bertanggung jawab membantunya. Pola kehidupan seperti ini ditemui dalam masyarakat kecil yang mendiami rumah adat dan karena kehidupan seperti  itu juga terdapat dalam  rumah adat yang lain, maka dengan sendirinya  masyarakat yang lebih luas, dalam hidup dan pergaulan sehari-harinya senantiasa  berada pada suasana  kegotong- royongan yang  dinamis tadi. Untuk memperjelas uraian diatas perihal fungsi dan peranan setiap Kepala Keluarga  ( rumah tangga )   yang terdiri 8 keluarga di dalam setiap rumah adat, yang ujudnya mengatur tata pergaulan dan pelaksanaan  adat istiadat sehari- hari, termasuk hidup kemasyarakatan, dibawah ini diuraikan fungsi dari tiap Kepala Keluarga :1. Rumah tangga nomor ( 1 ) ;yang dalam bahasa daerah disebut  " Jabu Bena Kay u"   ditempati oleh orang yang  mengepalai segala rumah tangga di rumah tersebut, sebab ia adalah dalam katagori bangsa taneh ( pengulu tanah ).2. Rumah tangga nomor ( 2 )  ; diperuntukkan  bagi orang yang berfungsi  sebagai pekerja atau petugas ( anak beru ) dari orang yang duduk di Bena Kayu . Fungsi kepala rumah tangga nomor  ( 2 ) ini ialah juga  sebagai pembicara  mewakili bangsa taneh.3. Rumah Tangga nomor ( 3 ) ;  yang letaknya diseberang Jabu Bena Kayu  atau disebut " Lepar Bena Kayu " , adalah yang berkedudukan sebagai anak dari i  rumah tangga nomor ( 1 ). Rumah tangga ini biasanya  di namakan rumah tangga menanyakan  berita ( Jabu Sungkun Berita ). Dari nama  ini dapat diartikan bahwa kewajiban yang menempati rumah tangga nomor ( 3 ) ini ialah mengamat- amati  berita  di luar rumah adat dan sewaktu menyampaikan berita yang diperolehnya tersebut  kepada  penghuni rumah tangga  nomor ( 1 ).4. Rumah Tangga  nomor (4 ) ' ditempati oleh orang   yang kedudukannya sebagai pihak saudara  atau orang tua isteri yang menduduki rumah  tangga  nomor ( 1 ) ( Kalimbubu ). Jadi rumah tangga nomor ( 4 ) ini yang disebut dalam bahasa daerah " Lepar Ujung Kayu " yang dinamai juga  " Jabu Siman Minem  ". Sekiranya ada pesta / hajat penghuni  rumah tangga nonomr 1, maka penghuni rumah tangga nomor ( 4 ) di undang sebagai orang yang dihormati dan mendapat tempat duduk terbaik dan sitamu ini disitu makan minum saja. Rumah Tangga nomor ( 5 )  yang letaknya satu dapur dengan nomor ( 1 )  yang  disebut " Sidapuren Bena Kayu ", biasanya ditempati oleh pekerja / petugas dari rumah tangga nomor ( 2 ). Yang menempati rumah tangga ini disebut " Anak Beru Menteri ) ". Fungsinya  ialah menjadi saksi dan pendengar bilamana  ada permusyawaratan atau pembicaraan -membicaraan dirumah adat tersebut.6. Rumah Tangga nomor ( 6 ); ditempati oleh eselon  anak  dari  rumah  tangga nomor 4 ( Kepar Ujung Kayu- Kalimbubu ). Rumah  tangga nomor 6 ini lazim disebut " Jabu Arinteneng " .7. Rumah Tangga nomor ( 7 ); yang menempatinya adalah masuk bagian dukun/ guru, sehiongga rumah tangga  ini disebut " Jabu Bicara  Guru "  . Kewajiban penghuni  nomor  ( 7 ) ini membuat obat- obatan, memeriksa  hari baik, bulan baik, memeriksa hari kelahiran anak- anak, mengusir hantu- hantu dan lain- lain. Ringkasnya berfungsi sebagai dukun atau guru petenung yang berhubungan dengan kepercayaan.8. Runah Taqngga nomor ( 8 ) ; yang disebut " Jabu Singkapur Belo " , kewajiban bilamana penghuni rumah nomor ( 1 ) ( Bena Kayu ) di datangi sesorang tamu, maka wajiblah istri Kepala Keluarga nomor ( 1 ) ( Bena Kayu )  didatangi seseorang tamu, maka wajiblah istri Kepala keluarga nomor ( 8 ) ini datang ke keluarga   nomor ( 1 )  dengann menyodorkan kapur sirih sebagai menghormati seisi rumah kepada tamu, kemudian menanyakan  apa-apa  maksud  kedatangannya. Semua itu dilaporkan kepada penghuni  rumah tangga nomor ( 1 ) dan pembicaraan di lanjutkan oleh penghuni rumah tangga dengan tamunya.Demikianlah fungsi dari  pada penghuni rumah tangga nomor ( 1 )  sampai dengan  nomor ( 8 ), sehingga pergaulan dan pelaksanaan adat istiadat PERANAN SANGKEP SITELU : Disinilah pula tergambar arti dan peranan apa yang disebut Sangkep Si Telu,Sebab ternyata dalam setiap rumah adat terdapat  Tri Tunggal   Sangkep Si Telu.  Sangkep Si Telu ini terdiri  Anak Beru, Sukut  dan Kalimbubu. Ketiga unsur yang terdapat dalam Sangkep Si Telu itu merupakan  jaringan kekerabatan yang menentukan baik buruknya hidup kemasyarakatan, baik dalam melaksanakan pemerintahan maupun pelaksanaan hukum dalam arti luas.. Masing - masing dari ketiga unsur tadi berfungsi menurut pola yang sudah tertentu, sehingga dapat terbentuk suatau jaringan kegotong- royongan dan masyarakat dalam  arti yang sedalam - dalamnya dan seluas- luasnya, Pada hakekatnya setiap unsur dari Sangkep Si Telu  tadi sederajat , hanya saja derajat masing- masing tentunya disesuaikan dalam keadaan dimana  dan bagaimana sesuatu itu tumbuh dan menjadi kasus. Misalnya dalam suasana peristiwa seperti perkawinan , kemalangan, memasuki rumah baru, pesta kegiatan sentral ada pada Sangkep Si Telu . Pada pesta perkawinan misalnya, bisa saja A sebagai  Anak Beru ( pekerja, penanggung jawab pelaksana pesta ), B  sebagai Sukut ( pihak yang mengawinkan anak laki- laki ), C. sebagai  Kalimbubu ( keluarga laki- laki dari istri B, yang harus dihormati sungguh- sungguh baik dalam praktek pergaulan sehari- hari maupun dalam perjamuan makan ). Tapi dalam peristiwa yang lain, bisa  saja A yang tadinya dalam pesta perkawinan sebagai Anak Beru menjadi Sukut. B menjadi Kalimbubu. C jadi Amak Beru. Begitu seterusnya , sehingga kenyataannya  baik Anak Beru, Sukut dan Kalimbubu di dalam Sangkep Si Telu adalah sederajat. Jadi setiap ada kasus atau pengerjaan masalah- masalah maka ketiga unsur tadi berfungsi menurut ketentuan ketentuan yang telah sesuai kedudukannya pada waktu itu. maka sebenarnya pada Sangkep Si Telu berkisar kegiatan kemasyarakatan, ekonomi, kepercayaan dan lain- lain aktivitas  sosial.Walupun Sangkep Si Telu  itu amat menonjol pada masa  sebelum penjajahan Belanda ( penjajah Belanda menginjakkan kakinya pada Thn 1907 ( ? ) di dataran tinggi Karo,), namun sekarang inipun praktek Sangkep Si Teku itu masih dilaksanakan oleh Masyarakat Karo dimanapun  mereka berada  walaupun tidak seketat dulu. Jadi  Sangkep Sin Telu sebegitu jauh masih belum dapat dihapuskan oleh zaman  guna menggerakkan kegotong- royongan kekeluargaan dan aktifitas kehidupan  serta  aktifitas  sosial kemasyarakatan SUKU KARO.Sebagai Catatan : Walaupun dalam zaman kemerdekaan  ini secara formil peradilan  adat seperti bale kuta ataukah bale urung telah lenyap, namun Sangkep Si Telu masih berperan untuk menyelesaikan masalah- masalah  sosial terutama sengketa perkara- perkara  perdata bahkan ada mampu menyelesaikan masalah- masalah pidana. Masih sering dilihat apabila ada kasus perkara Disampaikan kepengadilan, maka disarankan agar diselesaikan dulu oleh Sangkep Si Telu. Memang pada kenyataannya  kasus- kasus  yang dicampuri oleh Sangkep Si Telu lebih banyak dapat diselesaikan dari pada menemui jalan buntu,. Jadi bagi pengadilan sendiri sebenarnya masih berfungsi Sangkep Si Telu di kampung- kampung, amat besar artinya bagi pengurangan perkara yang harus diselesaikan  oleh badan peradilan negeri tersebut

DILEMA PENULISAN SEJARAH PERJUANGAN ORANG KARO


Rommel Curaming, seorang ahli sejarah Asia Tenggara, mengatakan penulisan sejarah Indonesia sangat nasionalistik. Dikenal sebagai Indonesiasentris, penulisan sejarah nasionalis merujuk kepada keseluruhan upaya tersebut dengan tujuan utama dan/atau capaian akhirnya, disengaja atau tidak, adalah penerimaan dan pengesahan atas keberadaan Indonesia sebagai bangsa-negara.

Bagaimana halnya dengan penulisan sejarah Karo dalam perjuangan (bersenjata) melawan penjajahan Belanda? Sifat nasionalistik itu juga ternyata cukup menonjol. Siapa saja yang mengangkat senjata melawan penjajajah Belanda dianggap sebagai pahlawan yang berjuang atas dorongan rasa kebangsaan atau nasionalisme (meskipun pada masa itu dibenak mereka belum terlintas konsep nation-state). Lalu sejarah perjuangan tokoh tersebut disusun sedemikian rupa sehingga mengarah kepada upaya untuk meneguhkan perjuangannya yang anti penjajahan. Atau, secara sengaja tidak membeberkan fakta yang dianggap bisa merugikan citra kepahlawannya. Ujung-ujungnya gelar pahlawan nasional yang diincar agar dianugerahkan oleh pemerintah kepadanya.

Akibat sikap nasionalistik tadi, penulisan sejarah perjuangan orang-orang Karo yang 
memainkan peranan penting, katakanlah dalam perang kemerdekaan, tidak dapat kita ketahui secara utuh, mendalam dan obyektif. Disamping barangkali tidak ada niat melakukan penulisan seperti itu karena berbagai pertimbangan (keterbatasan dana salah satunya), buku-buku yang sejauh ini sudah terbit masih mengandung beberapa kekurangan.

Pertama, soal obyektifitas. Buku-buku itu pada umumnya buku biografi dari pelaku sejarah. Sebagaimana biasanya sebuah biografi, pemilihan fakta atau sudut pandang terhadap sebuah peristiwa didasarkan pandangan si tokoh bersangkutan. Kedua, alasan tenggang rasa. Untuk menjaga perasaan pihak-pihak yang terlibat atau terkait dalam suatu peristiwa suatu masalah tidak dianalisa secara kritis. Bahkan tidak disebut secara ekplisit. Ketiga, lebih banyak bicara soal pohon sehingga hutannya tidak kelihatan. Artinya, banyak yang diungkapkan secara rinci bahkan cenderung kronologis. Keempat, kecenderungan menggunakan gaya bahasa eufisme guna memberikan kesan yang lebih halus, misalnya kegiatan indoktrinasi dikatakan ceramah (selain istilah itu belum dikenal pada masa itu, juga tidak mengena untuk menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi).

Mengenai sikap tenggang rasa terhadap teman seperjuangan, sebagai contoh kita ambil peristiwa tahun 1947. Terjadi pembunuhan terhadap aristokrat Karo, termasuk mereka yang pernah bekerja dibawah pemerintahan kolonial Belanda atau bekas KNIL yang sudah bebas dari tahanan revolusi sosial. Ada yang ikut mengungsi bersama rakyat di wilayah Republik. Barisan Harimau Liar (BHL) di Tanah Karo pimpinan Payung Bangun dituduh membantai mereka. 

Dalam buku biografinya Selamat Ginting berjudul Kilap Sumagan yang ditulis oleh Tridah Bangun dengan anaknya Hendri Chairudin dalam Bab VI Revolusi Sosial dan Perubahan Sistem Pemerintahan, sama sekali tidak disebut BHL. Hanya ditulis “beberapa tahanan revolusi sosial ’diselesaikan’ oleh segelintir Lasykar Rakyat“. Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan segelintir Lasykar Rakyat itu. Lasykar Rakyat adalah kelompok bersenjata yang tidak jelas kesatuannya. Pada masa itu siapa saja bisa membentuk pasukan bersenjata, termasuk kelompok tukang peras alias preman kota Medan dengan sasaran orang India atau Cina. 

Kemudian tim penulis buku biografi Selamat Ginting menemui Payung Bangun untuk menanyakan hal itu. Jawab Payung Bangun, “kalaupun tuduhan itu benar terjadi, semua itu sebagai akibat dari semangat dan dinamika revolusi dari rakyat, yang semata-mata gandrung mempertahankan kemerdekaan, tidak mau ada rongrongan dari mana pun juga.” Sungguh jawaban yang diplomatis dan politis. Dengan rumusan “beberapa tahanan Revolusi Sosial ’diselesaikan’ oleh segelintir Lasykar Rakyat“ itu kedudukan tim penulis biografi Selamat Ginting pun berada dalam posisi yang “aman” Lalit sikitiken ukur. Formulasi dame-dame. Perlu digarisi bawahi kata “beberapa orang” dan “segelintir” Lasykar Rakyat.

Dalam biografi Payung Bangun “Dari Medan Area ke Sipirok Utara“ yang ditulis oleh Prof. Dr. Payung Bangun, M.A, masalah tuduhan itu dijawab Payung Bangun dengan argumentasi yang lebih panjang lebar. Singkatnya, ketika pasukan Belanda menyerbu dan memasuki Tanah Karo kelompok pasukan RI yang menjaga rumah tahanan di Raya menyelamatkan diri dan para tahanan berkesempatan melarikan diri. Lolosnya para tahanan Revolusi Sosial itu dan adanya kekhawatiran terjadi penyusupan kaki tangan musuh dalam arus pengungsi, mendorong rakyat berjuang di kampung-kampung atas inisiatif sendiri mengeliminir unsur-unsur berbahaya tersebut. 

Tidak ada ketegasan siapa yang melakukan elimansi atau pembinasaan itu. Hanya dikatakan “rakyat di kampung-kampung”. Tapi sejarawan Anthony Reid dalam bukunya “Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra“ dan “Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia“ (MLMI) tulisan Suprayitno, dengan jelas menyebutkan tentang aksi pembunuhan di Tanah Karo yang dilancarkan oleh BHL. Bahkan dalam buku MLMI secara jelas disebutkan bahwa aksi militer Belanda I diberhentikan akibat adanya seruan dari Dewan Keamanan PBB. Pasukan Belanda kemudian membebaskan ratusan tawanan “revolusi sosial” diantaranya Sultan Langkat, Asahan, Raja Siantar, Tanah Jawa, Kaum Aristokrat Melayu, Karo dan Simalungun serta bekas pejabat kolonial.

Jadi, dalam buku MLMI para tahanan itu tidaklah melarikan diri seperti dinyatakan Payung Bangun, melainkan dibebaskan. Selanjutnya dalam buku MLMI disebutkan kesatuan-kesatuan BHL membunuh ratusan tawanan revolusi sosial di Kampung Merdeka, Berastagi. Seperti diketahui markas BHL ada di Berastagi. Mereka yang dibunuh itu adalah raja-raja Karo, bekas pegawai sipil kolonial, anggota KNIL termasuk istri Dr. F.J Nainggolan, tokoh nasionalis yang menempuh perjuangan melalui perundingan dengan Belanda. Bukan oleh rakyat di kampung-kampung. 

Kita tidak bisa berhenti disini lalu bertanya : mana yang benar? Atau berkesimpulan bahwa salah satu pihak pasti tidak mengungkapkan fakta, ataupun, semua pihak sama-sama salah. Tidak. Keterangan yang bertentangan ini justeru semakin menyadarkan kita betapa masih banyak yang tidak jelas sehingga perlu digali dan digali terus.

Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, timbul sebuah pertanyaan : apa arti dari semua ini bagi kita? Satu kesimpulan sementara yang sederhana saja. Untuk memahami sejarah sendiri, buku-buku yang sejauh ini telah diterbitkan oleh penulis Karo ternyata masih jauh dari memadai untuk bisa dijadikan sebagai sumber sejarah dalam arti yang sebenarnya. Kita masih memerlukan hasil penelitian atau penulis non-Karo atau orang asing (baca: orang yang sangat jauh dari kita) sebagai bahan pembanding. Disamping mereka memang sejarawan, jarak sosial-psikologis antara mereka dengan peristiwa atau tokoh yang diteliti membuat mereka tidak punya beban psikologis untuk menuliskan apa adanya. Lagi pula, mereka menulis bukan atas dasar ikatan primordial atau karena adanya order dari seseorang. Karena itu pula, mereka tidak mengenal formulasi kalimat-kalimat yang sifatnya dame-dame. Ini sangat penting. 

Dinasti Kerajaan Batak


DINASTI NAGUR (Simalungun & Gayo)

Pada tahun 600-1200 M, Komunitas Batak di Simalungun memberontak dan memisahkan diri dari Dinasti Batak, Dinasti Sorimangaraja di pusat. Mereka mendirikan kerajaan Nagur. Mereka ini keturunan Batak yang bermukim di Tomok, Ambarita dan Simanindo di Pulau Samosir. Di kemudian hari kerajaan Nagur berada di tangan orang Batak Gayo yang mendirikan kerajaan Islam Aceh.

Simalungun merupakan tanah yang subur akibat bekas siraman lava. Siraman lava dan marga tersebut berasal dari ledakan gunung berapi terbesar di dunia, di zaman pra sejarah. Ledakan itu membentuk danau Toba. Orang Simalungun berhasil membudidayakan tanaman, selain padi yang menjadi tanaman kesukaan orang Batak; Pohon Karet.

Hasil-hasil pohon karet tersebut mengundang kedatangan ras Mongoloid lainnya yang mengusir mereka dari daratan benua Asia; orang-orang Cina yang sudah pintar berperahu pada zaman Dinasti Swi, 570-620 M. Di antaranya Bangsa Yunnan yang sangat ramah dan banyak beradaptasi dengan pribumi dan suku bangsa Hokkian, suku bangsa yang dikucilkan di Cina daratan, yang mengekspor tabiat jahat dan menjadi bajak laut di Lautan Cina Selatan.

Kolaborasi dengan bangsa Cina tersebut membentuk kembali kebudayaan maritim di masyarakat setempat. Mereka mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi sungai Bah Bolon lebih kurang tiga kilometer dari kota Perdagangan. Orang-orang dari Dinasti Swi tersebut meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun.

Terdapat banyak kerajaan di Simalungun dengan dinasti-dinasti masing-masing. Contohnya adalah Dinasti Damanik dan lain sebagainya. Tapi secara umum kerajaan Nagur adalah yang paling awal eksis di Simalungun.

Kerajaan Nagur pernah dihancurkan oleh orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu pada tahun 1200-1508 M. Namun, kerajaan Nagur tetap eksis di hulu sungai Pasai antara tahun 1200-1285. Marah Silu, Raja huta Kerajaan Nagur saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Malik Al Shaleh. Di atas puing-puing kerajaan Nagur tersebut, sang Raja, yang aseli Batak Gayo, berhasil melakukan ekspansi dan mendirikan Kerajaan Samudera Pasai sekaligus menjadikannya sebagai Sultan pertama.

Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.

Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia adalah mantan prajurit Kesultanan Daya Pasai. Sebuah kerajaan yang berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur atau tanah Nagur. Nama lahirnya adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah yang artinya ketua. Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.

Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299.

Malik Al Mansyur sangat berbeda keyakinannya dengan keluarganya yang sunni. Dia adalah penganut taat syiah yang kemudian menjadikan kesultanannya sebagai daerah syiah. Dengan demikian dia dapat dijadikan sebagai tokoh Batak Syiah (Gayo).

Kekuasaan Kesultanan Aru Barumun terletak di sekitar area sungai Barumun yang menjadi titik penting perdagangan antara Padanglawas sampai Sungai Kampar. Penghasilan negara didapat dari ekspor dan impor merica dan lain sebagainya.

Kesultanan Aru barumun berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping.

Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya “Gajah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

Cerita Buah Enau


Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan sang abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Sibou menolong abangnya?

Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Anaknya yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istrilah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.

Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.

“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.

“Ada apa, Bang!” jawab Beru.

“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.

“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.

“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.

“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.

“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.

Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.

Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.

Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.

“Selamat sore, Kek!”

“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”

“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”

“Siapa nama abangmu?”

“Tare Iluh, Kek!”

“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”

“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.

Apakah kakek tahu di mana negeri itu?

“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”

“Apakah saran Kakek itu?”

“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.

Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”

Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.

Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Popular Posts

  © Free Blogger Templates 'Photoblog II' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP