DILEMA PENULISAN SEJARAH PERJUANGAN ORANG KARO


Rommel Curaming, seorang ahli sejarah Asia Tenggara, mengatakan penulisan sejarah Indonesia sangat nasionalistik. Dikenal sebagai Indonesiasentris, penulisan sejarah nasionalis merujuk kepada keseluruhan upaya tersebut dengan tujuan utama dan/atau capaian akhirnya, disengaja atau tidak, adalah penerimaan dan pengesahan atas keberadaan Indonesia sebagai bangsa-negara.

Bagaimana halnya dengan penulisan sejarah Karo dalam perjuangan (bersenjata) melawan penjajahan Belanda? Sifat nasionalistik itu juga ternyata cukup menonjol. Siapa saja yang mengangkat senjata melawan penjajajah Belanda dianggap sebagai pahlawan yang berjuang atas dorongan rasa kebangsaan atau nasionalisme (meskipun pada masa itu dibenak mereka belum terlintas konsep nation-state). Lalu sejarah perjuangan tokoh tersebut disusun sedemikian rupa sehingga mengarah kepada upaya untuk meneguhkan perjuangannya yang anti penjajahan. Atau, secara sengaja tidak membeberkan fakta yang dianggap bisa merugikan citra kepahlawannya. Ujung-ujungnya gelar pahlawan nasional yang diincar agar dianugerahkan oleh pemerintah kepadanya.

Akibat sikap nasionalistik tadi, penulisan sejarah perjuangan orang-orang Karo yang 
memainkan peranan penting, katakanlah dalam perang kemerdekaan, tidak dapat kita ketahui secara utuh, mendalam dan obyektif. Disamping barangkali tidak ada niat melakukan penulisan seperti itu karena berbagai pertimbangan (keterbatasan dana salah satunya), buku-buku yang sejauh ini sudah terbit masih mengandung beberapa kekurangan.

Pertama, soal obyektifitas. Buku-buku itu pada umumnya buku biografi dari pelaku sejarah. Sebagaimana biasanya sebuah biografi, pemilihan fakta atau sudut pandang terhadap sebuah peristiwa didasarkan pandangan si tokoh bersangkutan. Kedua, alasan tenggang rasa. Untuk menjaga perasaan pihak-pihak yang terlibat atau terkait dalam suatu peristiwa suatu masalah tidak dianalisa secara kritis. Bahkan tidak disebut secara ekplisit. Ketiga, lebih banyak bicara soal pohon sehingga hutannya tidak kelihatan. Artinya, banyak yang diungkapkan secara rinci bahkan cenderung kronologis. Keempat, kecenderungan menggunakan gaya bahasa eufisme guna memberikan kesan yang lebih halus, misalnya kegiatan indoktrinasi dikatakan ceramah (selain istilah itu belum dikenal pada masa itu, juga tidak mengena untuk menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi).

Mengenai sikap tenggang rasa terhadap teman seperjuangan, sebagai contoh kita ambil peristiwa tahun 1947. Terjadi pembunuhan terhadap aristokrat Karo, termasuk mereka yang pernah bekerja dibawah pemerintahan kolonial Belanda atau bekas KNIL yang sudah bebas dari tahanan revolusi sosial. Ada yang ikut mengungsi bersama rakyat di wilayah Republik. Barisan Harimau Liar (BHL) di Tanah Karo pimpinan Payung Bangun dituduh membantai mereka. 

Dalam buku biografinya Selamat Ginting berjudul Kilap Sumagan yang ditulis oleh Tridah Bangun dengan anaknya Hendri Chairudin dalam Bab VI Revolusi Sosial dan Perubahan Sistem Pemerintahan, sama sekali tidak disebut BHL. Hanya ditulis “beberapa tahanan revolusi sosial ’diselesaikan’ oleh segelintir Lasykar Rakyat“. Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan segelintir Lasykar Rakyat itu. Lasykar Rakyat adalah kelompok bersenjata yang tidak jelas kesatuannya. Pada masa itu siapa saja bisa membentuk pasukan bersenjata, termasuk kelompok tukang peras alias preman kota Medan dengan sasaran orang India atau Cina. 

Kemudian tim penulis buku biografi Selamat Ginting menemui Payung Bangun untuk menanyakan hal itu. Jawab Payung Bangun, “kalaupun tuduhan itu benar terjadi, semua itu sebagai akibat dari semangat dan dinamika revolusi dari rakyat, yang semata-mata gandrung mempertahankan kemerdekaan, tidak mau ada rongrongan dari mana pun juga.” Sungguh jawaban yang diplomatis dan politis. Dengan rumusan “beberapa tahanan Revolusi Sosial ’diselesaikan’ oleh segelintir Lasykar Rakyat“ itu kedudukan tim penulis biografi Selamat Ginting pun berada dalam posisi yang “aman” Lalit sikitiken ukur. Formulasi dame-dame. Perlu digarisi bawahi kata “beberapa orang” dan “segelintir” Lasykar Rakyat.

Dalam biografi Payung Bangun “Dari Medan Area ke Sipirok Utara“ yang ditulis oleh Prof. Dr. Payung Bangun, M.A, masalah tuduhan itu dijawab Payung Bangun dengan argumentasi yang lebih panjang lebar. Singkatnya, ketika pasukan Belanda menyerbu dan memasuki Tanah Karo kelompok pasukan RI yang menjaga rumah tahanan di Raya menyelamatkan diri dan para tahanan berkesempatan melarikan diri. Lolosnya para tahanan Revolusi Sosial itu dan adanya kekhawatiran terjadi penyusupan kaki tangan musuh dalam arus pengungsi, mendorong rakyat berjuang di kampung-kampung atas inisiatif sendiri mengeliminir unsur-unsur berbahaya tersebut. 

Tidak ada ketegasan siapa yang melakukan elimansi atau pembinasaan itu. Hanya dikatakan “rakyat di kampung-kampung”. Tapi sejarawan Anthony Reid dalam bukunya “Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra“ dan “Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia“ (MLMI) tulisan Suprayitno, dengan jelas menyebutkan tentang aksi pembunuhan di Tanah Karo yang dilancarkan oleh BHL. Bahkan dalam buku MLMI secara jelas disebutkan bahwa aksi militer Belanda I diberhentikan akibat adanya seruan dari Dewan Keamanan PBB. Pasukan Belanda kemudian membebaskan ratusan tawanan “revolusi sosial” diantaranya Sultan Langkat, Asahan, Raja Siantar, Tanah Jawa, Kaum Aristokrat Melayu, Karo dan Simalungun serta bekas pejabat kolonial.

Jadi, dalam buku MLMI para tahanan itu tidaklah melarikan diri seperti dinyatakan Payung Bangun, melainkan dibebaskan. Selanjutnya dalam buku MLMI disebutkan kesatuan-kesatuan BHL membunuh ratusan tawanan revolusi sosial di Kampung Merdeka, Berastagi. Seperti diketahui markas BHL ada di Berastagi. Mereka yang dibunuh itu adalah raja-raja Karo, bekas pegawai sipil kolonial, anggota KNIL termasuk istri Dr. F.J Nainggolan, tokoh nasionalis yang menempuh perjuangan melalui perundingan dengan Belanda. Bukan oleh rakyat di kampung-kampung. 

Kita tidak bisa berhenti disini lalu bertanya : mana yang benar? Atau berkesimpulan bahwa salah satu pihak pasti tidak mengungkapkan fakta, ataupun, semua pihak sama-sama salah. Tidak. Keterangan yang bertentangan ini justeru semakin menyadarkan kita betapa masih banyak yang tidak jelas sehingga perlu digali dan digali terus.

Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, timbul sebuah pertanyaan : apa arti dari semua ini bagi kita? Satu kesimpulan sementara yang sederhana saja. Untuk memahami sejarah sendiri, buku-buku yang sejauh ini telah diterbitkan oleh penulis Karo ternyata masih jauh dari memadai untuk bisa dijadikan sebagai sumber sejarah dalam arti yang sebenarnya. Kita masih memerlukan hasil penelitian atau penulis non-Karo atau orang asing (baca: orang yang sangat jauh dari kita) sebagai bahan pembanding. Disamping mereka memang sejarawan, jarak sosial-psikologis antara mereka dengan peristiwa atau tokoh yang diteliti membuat mereka tidak punya beban psikologis untuk menuliskan apa adanya. Lagi pula, mereka menulis bukan atas dasar ikatan primordial atau karena adanya order dari seseorang. Karena itu pula, mereka tidak mengenal formulasi kalimat-kalimat yang sifatnya dame-dame. Ini sangat penting. 

2 komentar:

Unknown July 24, 2017 at 6:47 AM  

Apakah prof. Payung Bangun sama orangnya dengan pejuang Payung Bangun?

Unknown July 24, 2017 at 9:39 PM  

Saya bukan pengamat sejarah.
Saya hanya mendengar dari orangtua saya bahwa kondisi pada jaman revolusi mirip kondisi G30S.

Pada jaman Revolusi, semua yang dicurigai ada hubungan dengan Belanda BUNUH.
Demikian juga pada jaman G30S. Semua yang ada hubungannya dengan PKI, BUNUH.

Popular Posts

  © Free Blogger Templates 'Photoblog II' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP